Sabtu, 05 Juli 2008

Pokok-Pokok Pemikiran Al-Jabiry

(Oleh: R. Wahyu Wijaya)




A. Pendahuluan.


Sebuah pokok pemikiran kotemporer yang berangkat dari pemahaman salafi;dalam hal ini relighting of thinked in Arabic linguage or grammatically ; adab/Sastra Arab, aturan Lughat Arabia , tata bahasa arab yang terlahir dari Bangsa Arab tempo dulu, sesuatu yang wajib diketahui oleh Umat Islam. Pemikiran ini membuat Al-Jabir menguraikan panjang lebar tentang gramatikal, Tata bahasa Arab/Adab. Terbukti dengan suatu pernyataan dalam editanya banyak kata-kata dan contoh-contoh dari kitab-kitab ulama salaf seperti Ibn Malik, Alfiah (Berisi : Tata Bahasa Arab Versi Salaf),Digunakan sebagai alat dalam memahami bahasa alquran, untuk mentakwilkan ayat-ayat Aliquran. Selebihnya k bertolak ke pemahaman mutakhirin di era modern ini.

Unsur mantiq dipakai membantu pemahaman logika kearah lebih sempurna, khususnya dalam mentaqwilkan ayat-ayat Al-quran, dengan sifat-sifat ayat yang tidak selalu muhkam, banyak contoh gramatikal diulas secara jelas, mengarah kepada penggunaan mantiq Arabic Language/Lughhat Arab, sebab hanya dengan pemahaman lughat, Degan pemahaman Adab yang sempurna Ayat-Ayat Al-quran menjadi mudah dipahami taqwilnya dengan jelas.

Unsur-unsur kontemporer dibahas didalamnya, melalui kajian dhahir dan batin. Kajian bayani; bergantung pada teks/naskah dengan logic justification digunakan penalaran akal. Irfani, mencari kearifan I dan keberhasilan rohaniah melalui tuntunan dan pembelajaran dari tokoh-tokoh rohani. Sedang pembahasan burhani membicarakan tentang pendekatan rasional dan empiris berhubungan dengan mantiq seperti pada pembahasan bab sebelumnya.



B. Pemikiran Salafi


Pada masa salafi telah dikodifikasikan metode/cara memahami Al-quran, diantaranya dengan mengenal asbabun nuzul yang membicarakan sebab-sebab turunnya ayat, sebagai referensi pokok untuk menginterprestasikan, mentaqwilkan ayat.

Unsur lughat berhubungan dengan mantiq berdasarkan tinjauan gramatikal, dengan cara diuraikan fungsi dan jabatannya per kalimat, selain dapat dijelaskan waktu kejadiannya, dapat ditelusuri lebih dalam lagi tentang maksud kalimat atau ayat tersebut.

Uraian sifat kodifikasi sifat-sifat ayat memperjelas keterangan dari naskah yang diturunkan. Al-quran diturunkan di dalamnya terdapat dua kriteria berdasarkan ssifat ayat di dalamnya, yakni muhkam/jelas hingga mutasyabih/samar. Telah disepekati dari tempo salaf bahwa,’’Dari muhkam ke mutsyabih tidak tiba-tiba begiti saja, tetapi terdapat drajat, tingkatan kejelasan yang terdiri dari beberapa tingkatan. Dengan demikian jenis tingkatan dapat digunakan sebagai barometer ketika menintresprestasikan, mentaqwilkan ayat, dan sebagai rambu agar Ayat Al-quran tidak ditaqwilkan sesuai dengan kehendak sang mufasir, dan hendaknya jangan terlalu dipaksakan ketika berhadapan dengan ayat-ayat yang benar-benar mutasyabih, beberapa musafir salaf dalam kitab tafsirnya menunjukan adanya usaha-usaha pemaksaan untuk mentaqwilkan ayat mutsyabih, wallahu a’lam.

Dua sumber utama pemikiran ini adalah pemahaman naskah dari Al-Quran dan Al-Hadits, yang keduanya dijadikan sebagai sumber hukum mutlak kehidupan agama yang harus dipatuhi sebagai petunjuk kehidupan umat Islam.



C. Tri Epistemologi Al-Jabiry.


Pola pemikiran Al-Jabiry dituangkan dalam Tri Epistemologi dengan tiga tiga kerangka pola kerangka berpikirnya berpikirnya yakni bayani, irfani, dan burhani.

Ketiga pola pemikiran tersebut sebagai bentuk pemikiran yang seyogyanya dipergunakan oleh oleh umat muslim, dalam hal ini ulama, Akal Arab, Umat Islam pada umumnya.

Ketiganya saling terkait, suatu rangkaian yang tidak bias dipisahkan antara satu sama lainnya, tidak bisa berdiri-sendiri dari salah satu unsur dari ketiganya.

Unsur bayani meliputi unsur naskah dogmatisme islam yang mutlak, senantiasa terkait dengan unsur irfan yang terdiri dari pengalaman empiris, Al-Quran dan hadits benyak berbicara unsur ini. Demikian halnya dengan burhani yang penuh nuansa ilmu pengetahuan didalamnya.

Pemisahan dari ketiganya jelas berakibat kepada nilai-nilai tidak seimbang dalam diri, unsur psikologi menjadi tidak terpenuhi. Pemikiran bayan saja jelas akan menjadi kolot dikarenakan ada nilai perubahan zaman, sebaliknya pemahaman irfani saja berakibat kepada hilangya batiniah yang sering sekali berdasarkan nilai bayan. Disisi lain pemahaman burhani saja berakibat manusia bertuhankan ilmu pengetahuan semata. Pemisahan unsur ini jelas akan berdampak kepada nilai keseimbangan batiniah, psikologi yang menyangkut

keserasian lahiriah dan batiniah manusia sebagai makhluk sosial , insan bertuhan. Perpaduan dari ketiga unsur terkait menjadikan manusia semakin bijak dan luas akan pengalaman, ilmu pengetahuan, dan wawasan ketuhanan yang dimilikinya.



C.1. Otoritas Pemikiran Bayani.

Otoritas pemikiran bayani meliputi otoritas salaf; dari jaman kenabiaan hingga Rosulullah, ditambahkan dengan pemikiran, fikh ulama salafi. Al-quran dan Hadits sesuatu yang dijadikan harga mati, mutlak, hakikiah sifat kebenarannya.

Untuk penjelasan Al-Qur dan Hadis senantiasa bergantung kepada pemikiran ulama-ulama salafi, hingga kini masih banyak dipakai di masyarakat pemikiran bayani ; tafsir, fikh, kitab-kitab salaf sebagai rujukan mutlak otoritas keilmuan dalam kehidupannya, pemikiran bayani dibawanya kedalam komunitas sosial masyarakat.

Cara pemahaman wahyu; naskah Al-quaran, dan Hadits senantiasa dikaji mendalam melalui alat Bantu pemahaman Sastra Arab, sehingga Bahasa Arab Sastra adalah sesuatu yang mutlak diperlukan, mengingat naskah Al-quran dan Hadits diturunkan hampir seluruhnya menggunakan sastra arab (Adab).

Sumber pemikiran bayani meliputi otoritas naskah Al-quran, Hadits, Pemikiran ulama Salaf, dan Sastra Arab didalamnya menjadi suatu alat pemahaman naskah bayan.

Pendekantan bahasa seperti mengetahui asal usul kalimat, penjentretan cara pemahaman seperti menntaqwilkan Ayat Al-Quran sepeti: Al-Lafz dan Alma’na; penjelasan ayat dari muhkam. Mufasar, hingga mutasyabih1 kodifikasi hadits.

Ijtihad sebagai suatu proses pemikiran.Pola pikir deduktif berpangkal dari qiyas dan fikh yang didominasi oleh ulama-ulama pada zaman salaf/terdtahulu.

Otoritas fikh dan qiyas mutlak, diamalkan sesuai dengan pilihan madhab yang diinginkannya, dengan apologies sesuai dengan ketentuan syriaat, yang merupakan hukum tertinggi.

Ciri khas lainnya dalam bayani selalu mentaqdimkan riwayat sang perawi/ataupun asal usul ulama akan kesinambungannya dengan ulama sebelumnya syarat mutlak, terkait yang disampaikan.2 Lisan Arabiya sebagai ketentuan mutlak yang harus diikuti dalam prosedur bayani.

Umumnya bayanidijadikan sebagai fundamen pemikiran Al-Aqil arabiya, mengingat sejarah masa-masa sebeluah wahyu yang diturunkan melalui Nabi Muhammad, pada masa itu masyarakat arab (Qurais) benar-benar mengalami zaman jahiliyah, sehingga secara umum kondisi mayarakat yang ada benar-benar fenomena kebodohan.

Disisi lain masih terdapat seni sastra pada jamannya, sehingga Sastra Arab pada masa itu, syair terutama bagi memasyarakat dijadikan sebagai simbul kecerdasan intelektuasal, Al-Quran diturunkan didalamnya digunakan bahasa-bahasa sastra dalam sebagian besar editannya sebagai penyelaras, pembanding dengan Syair Arab lokal masa itu. Karena itulah editan Al-Quran mayoritas menggunakan Sastra Arab. Sehingga menjadi suatu kemutlakan pempelaamatjari naskah, isi kandungan Al-Quran menggunakan pemahaman gramatikal Bahasa Arab Sastra. Faktor lain Al-Hadits yang merupakan Sunah Rasul merupakan kebiasaan Rasulullah dalam komunitas masyarakat Arab, kultur, sosialogi Arab, mewarisi diantaranya Sastra Arab sebagai alat pemahaman Syariat Islam.

Pola pikir ulama salaf pada abad pertengahan menjadi referensi mutlak diikuti yang keberadaannya dijadikan landasan asazi dalam kehidupan masyarakat.3Dalam hal ulama salaf pada abad perngahan dengan versi fikh dan qiyas (ilmu-ilmu Agama), sebagai sumber tersier, pemikiran-pemikiran yang menjelaskan sumber primer yakni Al-Quran dan Hadits.

Awal pemikiran arbi dimulai pada jaman filsuf awal; abad pada tahun 185H - 252H, awal filsafat islam. Dimulain pembahasan tentang akal faal, ilmu rububiyah; ilmu Filsafat Arab.4

Pada jamannya pola piker bayani mempunyai hegomini meluas di masyarakat, sehingga ujung-ujung pemikirannya akan dikembalikan ke pola pikir bayan, Qiyas, Ijma’ dan Fikh ilmu agama menjadi harga mati; hingga pada akhirnya segalanya akan dikembalikan kepada para pemikir fikh.

Kurun waktu bayan hingga pada masa ilmu kalam masih sangat kental; pada masa pemikiran Jabariyah; Qadariyah sangat bayani dalam argumentasi dengan lawan pemikirannya Qadariyah.

Hingga saat sekarang pun bayani harus tetap dipakai dalam pola pikir Umat Islam, walau harus disertai dengan pemikiran Irfan dan Burhan. Ketiganya sebagai tri epistemologi Al-Jabiri referensi pemikiran yang layak digunakan


C.2. Otoritas Pemikiran Irfani

Irfani merupakan otoritas non bayani yang harus dipunyai sebagai experience untuk membantu pembelajaran diri sebagai epistem penyempurna, produk akal.

Otoritasnya meliputi wilayah akal, erat kaitannya dengan pengalaman sehari-hari/empirically experience dalam pengamalan diri sebagai muslim, hingga pembahasan pembersih hati, langkah-langkah menuju tasawuf.

Irfani termasuk otoritas pembelajaran keilmuan, keberadaan ilmu pengetahuan dalam wilayah irfani dapat digunakan sebagai pengalaman yang mendukung kerangka berpikir muslim. Dalam bertafakur kepadaNya.

Faktor hakikiah, hakekat hati lebih ditempatkan sebagai kreasi diri dalam pengamalan irfani. Dapat dimulai dari sebuah sumber-sumber irfani seperti; ruyah al-mubasyirah, experience, knowledge empirically, riyadhah, berproses melalaui system induksi denag mengkedepankah spiritual, mengongat proses empirisnyayang membentuk kejernihan hati, sehingga validitasnya diukur dengan keilmuan, empati, simpati, saling berinteraksi membentuk suatu kesatuan dalam universal, disitulah otoritas irfan ketika proses dan pencapaiannya, membentuk pola pikir pengetahuan yang terproses berdasarkan pengalaman induksi spiritual, sehingga pembentukan hati seorang muslim adalah sebuah otoritas yang tidak tertawar dalam irfani.

Irfan dapat dikatakan sebuah jembatan bagi seorang pembelajar ilmu pengetahuan. Irfan kental dengan proses pembentukan hati dan mendalami suatu knowladge, ilmu pengetahuan umum, tidak menjadi sekuler; memisahkan agama dengan ilmu, namun hanya sebagai pelengkap epistem dengan pola pikir, tri epistem yang harus dimiliki sebagai karakteristik muslim, akal Arabia secara utuh, menyeluruh, sebagai muslim.


C.3. Otoritas Pemikiran Burhani

Burhani sebuah pemikiran yang berdasarkan kepada srealitas social yang berhubungan dengan kehidupan manusia; sehingga realitas yang terjadi tentang alam termasuk dalam otoritas burhani. Bukan sekedar ide atau gagasa saja tetapi sudah tertuang secara reel dalam komuniutas sosial ; humanitas di masyarakat.

Ilmu dengan obyek pemikiran yang berdasarkan realita dapat dijadikan sebagai sumber referensi pemikiran burhani; sehingga ilmu pengetahuan dapat dijadikan sebagai dasar dari pada realita yang terjadi.

Proses burhani melalui al-aqli, akal sebagai dasar pemikiran. Melalui cara-cara seperti tarkibiyah, tahliliyah, suatu proses berlangsung dari abstraksi menjadi scientific, filsafat termasuk didalamnya.

Kerangka teori berdasarkan kepada mantiq / logika, teoritically frame work menggunakan rimusan pasti sepertia:

A=B

B=C

A=C

Denagan demikian fungsi dan peran akal menjadi kritis, pencarian sebab dan musabab permasalahan. Pola logika dan argumennya berdasarkan logika Aristotle.

Terjadi hubungan antara akal dan alam dalam mencari kebenaran ilmu pengetahuan, disinilah letak tolak ukur validitas keilmuan burhani. Koherensi logis dan pragmatik menunjukan fallibilitas ilmu pengetahuan yang ada.

Prinsip dasar kausalitas, pola pikir atsabit, menjadi suatu ketentuan yang pasti. Segala pemikiran dan otoritas pemikiran burhani selalu diukur dengan kepastian yang nyata berdasarkan realita.

Didalamnya berdiri dan terdiri dari kelompok ilmu-ilmu alam, sosial, filsafat dan humanitas, trkait pola pikir pada wilayah otoritas burhani.

Obyektif berdasarkan rasionalisme sebuah pemikiran yang berusaha memperjelas hubungan antara subyek dan obyek; secara terpisah dapat dilakukan pengamatan pada wilayah tersebut, sehingga dapat diklarifikasi dengan tegas dan jelas.











Daftar Pustaka


1. ’Abd Aljabiry, M, Bunyah ‘Aqlil Arabiya, Vol 2. Markas Sakafah Araby, 1984.

2. Schaff, Adam, Language et Connaisance , Paris, editionAntrhropos.

3. Ibn Jabiry, M, Taqwin ’Akil Arabi, Markaz Sakafah Arabi, 1991.

4. Al-Munawir, Kamus Bahasa Arab-Indonesia.

5. Husain Basori, Abu, Muktamad fi usul fikh, Bairut, 797-798.

6. Rivaud, A, History de la philosophie, Paris Press 1966.

7. Abd Jabiry, M, Qaraatul Mu’asirah fi taraanal Falasifah, 1984.